Senin, 04 Mei 2009

Ternyata depok doeloe punya presiden dan pemerintahannya sendiri!

Dulu, Pondok Cina hanyalah hamparan perkebunan dan semak-semak
belantara yang bernama Kampung Bojong. Awalnya hanya sebagai tempat
transit pedagang-pedagang Tionghoa yang hendak berjualan di Depok.
Lama-lama menjadi pemukiman, yang kini padat sebagai akses utama
Depok-Jakarta.

Kota Madya Depok (dulunya kota administratif) dikenal sebagai
penyangga ibukota. Para penghuni yang mendiami wilayah Depok sebagian
besar berasal dari pindahan orang Jakarta. Tak heran kalau dulu
muncul
pomeo singkatan Depok: Daerah Elit Pemukiman Orang Kota. Mereka
banyak
mendiami perumahan nasional (Perumnas), membangun rumah ataupun
membuat pemukiman baru.

Pada akhir tahun 70-an masyarakat Jakarta masih ragu untuk mendiami
wilayah itu. Selain jauh dari pusat kota Jakarta, kawasan Depok masih
sepi dan banyak diliputi perkebunan dan semak belukar. Angkutan umum
masih jarang, dan mengandalkan pada angkutan kereta api. Seiring
dengan perkembangan zaman, wajah Depok mulai berubah. Pembangunan di
sana-sini gencar dilakukan oleh pemerintah setempat. Pusat hiburan
seperti Plaza, Mall telah berdiri megah. Kini Depok telah menyandang
predikat kotamadya dimana selama 17 tahun menjadi Kotif.

Menurut cerita, awalnya Depok merupakan sebuah dusun terpencil
ditengah hutan belantara dan semak belukar. Pada tanggal 18 Mei 1696
seorang pejabat tinggi VOC, Cornelis Chastelein, membeli tanah yang
meliputi daerah Depok serta sedikit wilayah Jakarta Selatan dan
Ratujaya, Bojonggede. Di sana ditempatkan budak-budak dan pengikutnya
bersama penduduk asli. tahun 1871 Pemerintah Belanda mengizinkan daerah Depok membentuk Pemerintahan dan Presiden sendiri.
Keputusan tersebut berlaku sampai 1942. Gemeente Depok diperintah oleh seorang Presiden sebagai badan Pemerintahan tertinggi. Di bawah kekeuasaannya terdapat kecamatan yang membawahi mandat (9 mandor) dan dibantu oleh para Pencalang Polisi Desa serta Kumitir atau Menteri Lumbung. Daerah teritorial Gemeente Depok meliputi 1.244 Ha namun hapus pada tahun 1952 setelah terjadi perjanjian pelepasan hak antara Pemerintah RI dengan pimpinan Gemeente Depok, tapi tidak termasuk tanah-tanah Elgendom dan beberapa hak lainnya.
Sebagai
daerah baru, Depok menarik minat pedagang-pedagang Tionghoa untuk
berjualan di sana. Namun Cornelis Chastelein pernah membuat peraturan
bahwa orang-orang Cina tidak boleh tinggal di kota Depok. Mereka
hanya
boleh berdagang, tapi tidak boleh tinggal. Ini tentu menyulitkan
mereka. Mengingat saat itu perjalanan dari Depok ke Jakarta bisa
memakan waktu setengah hari. Untuk mengatasi kesulitan transportasi,
pedagang-pedagang tersebut membuat termpat transit di luar wilayah
Depok, yang bernama Kampung Bojong. Mereka berkumpul dan mendirikan
pondok-pondok sederhana di sekitar wilayah tersebut. Dari sini mulai
muncul nama Pondok Cina.

Menurut cerita H. Abdul Rojak, sesepuh masyarakat sekitar Pondok
Cina,
daerah Pondok Cina dulunya bernama Kampung Bojong. “Lama-lama daerah
ini disebut Kampung Pondok Cina. Sebutan ini berawal ketika
orang-orang keturunan Tionghoa datang untuk berdagang ke pasar Depok.
Pedagang-pedagang itu datang menjelang matahari terbenam. Karena
sampainya malam hari, mereka istirahat dahulu dengan membuat
pondok-pondok sederhana,” ceritanya. Kebetulan, lanjut Rojak, di
daerah tersebut ada seorang tuan tanah keturunan Tionghoa. Akhirnya
mereka semua di tampung dan dibiarkan mendirikan pondok di sekitar
tanah miliknya. Lalu menjelang subuh orang-orang keturunan Tionghoa
tersebut bersiap-siap untuk berangkat ke pasar Depok.”

Kampung Bojong berubah nama menjadi kampung Pondok Cina pada tahun
1918. Masyarakat sekitar daerah tersebut selalu menyebut kampung
Bojong dengan sebutan Pondok Cina. Lama-kelamaan nama Kampung Bojong
hilang dan timbul sebutan Pondok Cina sampai sekarang. Masih menurut
cerita, Pondok Cina dulunya hanya berupa hutan karet dan sawah. Yang
tinggal di daerah tersebut hanya berjumlah lima kepala keluarga, itu
pun semuanya orang keturunan Tionghoa. Selain berdagang ada juga yang
bekerja sebagai petani di sawah sendiri. Sebagian lagi bekerja di
ladang kebun karet milik tuan tanah orang-orang Belanda. Semakin
lama,
beberapa kepala keluarga itu pindah ke tempat lain. Tak diketahui
pasti apa alasannya. Yang jelas, hanya sisa satu orang keluarga di
sana. Hal ini dikatakan oleh Ibu Sri, generasi kelima dari keluarga
yang sampai kini masih tinggal di Pondok Cina.

“Saya sangat senang tinggal disini, karena di sini aman, tidak
seperti
di tempat lain,” katanya kepada Sinergi. Dulunya, cerita Sri,
penduduk
di Pondok Cina sangat sedikit. Itupun masih terbilang keluarga semua.
“Mungkin karena Depok berkembang, daerah ini jadi ikut ramai,”
kenangnya. Satu-persatu keluarganya mulai pindah ke tempat lain.
“Tinggal saya sendiri yang masih bertahan disini,” kata ibu Sri lagi.
Sekarang daerah Pondok Cina sudah semakin padat. Ditambah lagi dengan
berdirinya kampus UI Depok pada pertengahan 80-an, di kawasan ini
banyak berdiri rumah kost bagi mahasiswa. Toko-toko pun menjamur di
sepanjang jalan Margonda Raya yang melintasi daerah Pondok Cina ini.
Bahkan pada jam-jam berangkat atau pulang kerja, jalan Margonda
terkesan semrawut. Maklum, karena itu tadi, pegawai maupun karyawan
yang tinggal di Depok mau tak mau harus melintas di Pondok Cina.

Sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1739371

0 komentar:

Posting Komentar