Minggu, 17 Mei 2009

Santun Berkomunikasi

Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi, karena tata cara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal.

1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu.
2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu.
3. Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan.
4. Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara.
5. Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara.
6. Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.

Tatacara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tatacara berbahasa orang Jawa berbeda dengan tatacara berbahasa orang Batak, Sunda, Bali, meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya.

Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma budaya di samping mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa.

Pembentukan Kesantunan Berbahasa

Ada empat prinsip yang perlu diterapkan dalam pembentukan kesantunan berbahasa.
Penerapan prinsip kesopanan (politeness principle).

Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan kearifan, rasa hormat, pujian, kecocokan, dan kesimpatikan kepada orang lain, sekaligus meminimalkan hal-hal tersebut pada diri sendiri.

Berikut contoh yang memperlihatkan bahwa si A mengikuti prinsip kesopanan dengan memaksimalkan pujian kepada temannya, tetapi si B tidak mengikuti prinsip kesopanan karena memaksimalkan rasa hormat atau rasa hebat pada diri sendiri.

A : Selamat, Anda lulus dengan predikat maksimal!
B : Oh, saya memang pantas mendapatkan predikat cumlaud.

Penghindaran pemakaian kata tabu.

Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk pada organ-organ tubuh yang lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata “kotor” dan “kasar” termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu.

Contoh berikut ini merupakan kalimat yang menggunakan kata tabu karena diucapkan oleh siswa kepada guru ketika pelajaran berlangsung.

- Pak, mohon izin keluar sebentar, saya mau berak!
- Mohon izin, Bu, saya ingin kencing!

Penggunaan eufemisme

Yaitu ungkapan penghalus. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif dan menghindari pemakaian kata-kata tabu.
Contoh kalimat siswa yang tergolong tabu di atas akan menjadi ungkapan santun apabila diubah dengan penggunaan eufemisme, misalnya sebagai berikut.

-Pak, mohon izin sebentar, saya mau buang air besar.
-Pak,mohon izin sebentar, saya mau ke kamar kecil.
-Pak, mohon izin sebentar, saya mau ke belakang.

Yang perlu diingat adalah, eufemisme harus digunakan secara wajar, tidak berlebihan. Jika eufemisme telah menggeser pengertian suatu kata, bukan untuk memperhalus kata-kata yang tabu, maka eufemisme justru berakibat ketidaksantunan, bahkan pelecehan.

Misalnya, penggunaan eufemisme dengan menutupi kenyataan yang ada, seperti yang sering dikatakan oleh para pejabat pejabat. Kata “miskin” diganti dengan “prasejahtera”, “kelaparan” diganti dengan “busung lapar”, “penyelewengan” diganti “kesalahan prosedur”, “ditahan” diganti “dirumahkan”, dan sebagainya. Di sini terjadi kebohongan publik. Kebohongan itu termasuk bagian dari ketidaksantunan berbahasa.

Penggunaan pilihan kata honorifik

Yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan.

Misalnya, bahasa krama inggil dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara, atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara.

Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, sebutan kata diri Engkau, Anda, Saudara, Bapak/Ibu, mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita pakai untuk menyapa orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang pemuda menanyakan seorang pria yang lebih tua.

* Engkau mau ke mana?
* Saudara mau ke mana?
* Anda amau ke mana?
* Bapak mau ke mana?

Percakapan yang tidak menggunakan kata sapaan pun dapat mengakibatkan kekurangsantunan bagi penutur. Percakapan via telepon antara mahasiswi dan istri dosen berikut merupakan contoh kekurangsopanan.

Mahasiswi : Halo, ini rumah Supomo, ya?
Istri : Betul.
Mahasiswi : Ini adiknya, ya?
Istri : Bukan, istrinya. Ini siapa?
Mahasiswi : Mahasiswinya. Dia kan dosen pembimbing saya. Sudah janjian dengan saya di kampus. Kok saya tunggu-tunggu tidak ada.
Istri : Oh, begitu, toh.
Mahasiswi : Ya, sudah, kalau begitu. (Telepon langsung ditutup.)

Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi. Oleh karena itu, pemakaian bahasa yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga merupakan ketidaksantunan berbahasa.

Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat Indonesia karena terbawa oleh budaya “tidak terus terang” ( rikuh, pekewuh : Jawa ) dan menonjolkan perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak bermaksud mengaburkan komunikasi.

Apakah kesantunan berkomunikasi berlaku juga dalam dunia perbloggingan??
Kalau boleh, saya jawab dengan pertanyaan juga, biar Anda sendiri yang menganalisa.
“Apakah dunia Blog termasuk komunikasi?”

0 komentar:

Posting Komentar