Senin, 18 Mei 2009

Untuk Nurmahmudi Isma’il, Walikota Depok

Pagi ini saya kedatangan tamu, yakni majalah “WARTA DEPOK”, yang diantar langsung oleh staf Kelurahan Pondok Petir. “Warta Depok” adalah majalah yang dikelola oleh Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Depok yang mempunyai motto ” Informasi dan Komunikasi Masyarakat Depok”.

Headline-nya adalah “Tiga Tahun Melayani Masyarakat Depok”, yang backgroundnya adalah foto Nur Mahmudi Isma’il lengkap dengan baju batik dan kopiah di kepalanya dan peta Kota Depok. Mungkin banyak yang lupa, beliau dulu adalah Presiden PKS dan mantan Menteri Kehutanan RI, yang kemudian terjun menjadi Walikota Depok, sebagai sebuah semangat perjuangan untuk berbuat bagi Rakyat Indonesia.

Tidak banyak elite Indonesia yang bisa berbuat seperti beliau, dari menjadi presiden Partai PKS dan bekas Menteri Kehutanan RI, menjadi “hanya Walikota Depok” saja. Degradasi jabatan yang cukup tinggi, tapi untuk sebuah amanah, beliau melakukan sepenuh hatinya. Dan apakah Megawati, Jusuf Kalla, SBY, Wiranto, Prabowo, Akbar Tanjung, Amin Rais, dan para elite Indonesia lainnya, bisa meniru langkah “Pak Ustad Nur Mahmudi” ini…. ???. Tentu saja tidak bisa, kalau mereka masih dan hanya berpikir tentang jabatan prestisius saja.

Dikenal dengan pribadi yang sederhana, suka terjun ke masyarakat bawah, berkelililing dari masjid ke masjid lain, menyampaikan visi dan program2 Kota Depok, dan tentunya taushiah agama dengan predikat Ustad yang beliau sandang, semata-mata untuk membangun mentalitas warga Kota Depok yang agamis. Cukup banyak prestasi pembangunan Kota Depok yang dibanggakan, tidak hanya dalam lingkup Propinsi Jawa Barat, tapi dalam scope nasional, Kota Depok telah menjadi percontohan untuk kota dan kabupaten seluruh Indonesia.

Tapi program beliau yang paling menyentuh di hati masyarakat Kota Depok, adalah asuransi kematian untuk warga yang mempunyai KTP Depok. Setiap warga Depok yang meninggal dunia akan disantuni asuransi kematian sebesar 2 juta rupiah, tanpa memandang status ekonomi mereka. Bahkan pengurusannya terbilang sangat cepat, kalau mau pada hari H kematian, santunan tersebut pun sudah bisa diambil. Ini disampaikan oleh warga Kota depok kepada penulis, yang kebetulan menjabat sebagai ketua RW.

Sebagai teladan, ini patut ditiru oleh elite Indonesia yang di masa sekarang sedang bersyahwat tinggi untuk memburu jabatan-jabatan prestisius. Berbakti kepada nusa dan bangsa, tidak hanya bisa dilakukan di Jakarta saja, tapi masih dilakukan di Sabang, Tarutung, Mempawah, Bone, Biak, Kudus, Blora, Toli-toli, dan lain sebagainya. (riharsya)

Sumber:
http://public.kompasiana.com/2009/05/08/untuk-nur-mahmudi-ismailwalikota-depok/

Komunikasi sebagai senjata, Informasi sebagai peluru dan Kita sebagai tentara

Sebuah iklan di majalah Time berlatar langit pada ketinggian 34 ribu feet, terpampang saat saya menempuh penerbangan Cathay Pacific Jakarta-Tokyo. Ia begitu mempesona. Bunyinya singkat, "You cannot get what you deserve, you get what you communicate." Seorang Doktor yang mengungkapkan kata-kata itu adalah pakar komunikasi yang sukses membina para profesional dan eksekutif terkenal di Amerika. Ia bukan Muslim, tapi saya sepakat dengan pendapatnya. Banyak contoh di sekitar kita, persoalan yang dihadapi dengan komunikasi berujung pada hasil positif, sebaliknya, tanpa komunikasi ia jadi kasus yang kian berat.

Saya teringat, suatu ketika sehabis bermain dengan dua anak perempuan saya di taman, sang kakak yang berumur 8 tahun setiba di rumah menulis di secarik kertas, dilipat-lipatnya kertas itu lalu disodorkan pada saya. Isinya sederhana, "Otousan, kyou wa isshouni asonde site kurete, arigatou nee." (Ayah… makasih ya mau main-main bersama di hari ini). Saya terharu. Pertama kalinya saya menyisihkan waktu yang sedikit, yang bagi mereka terasa berarti. Suatu ungkapan kecil namun bermakna begitu dalam.

Komunikasi penting bagi produktifitas. Seorang atasan yang sering berkomunikasi dengan sehat pada bawahannya akan menimbulkan efek positif. Bawahan merasa diperhatikan dan dilibatkan. Pekerjaan kantor pun akan dilakukan dalam suasana tenang, penuh semangat, rela berkorban, dan menyebabkan produktivitas meningkat.

Komunikasi juga tak terelakkan jika ingin orang lain mengenal dan memahami kita, termasuk memahami nilai-nilai yang kita bawa. Bukankah ada ungkapan Rasulullah saw, "Sampaikanlah dariku walau satu ayat." Kita tidak bisa mengharapkan orang lain mau mengenal Islam jika tidak mengkomunikasikannya, meski hanya satu ayat.

Misalnya dalam masa kampanye, semua sepakat komunikasi menjadi modal yang pertama. Selanjutnya, dalam kerangka yang lebih utama, yaitu da’wah, mengajak ke jalan Allah, mengajak pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Komunikasi menjadi "conditio sine qua nono", sesuatu yang harus dilakukan.

Masalahnya, dengan komunikasi saja ternyata persoalan belum selesai. Ada sesuatu yang diperlukan dalam komunikasi, yaitu bahan yang dikomunikasikan atau informasi. Pemilihan secara tepat informasi yang akan disampaikan menjadi penting karena informasi yang salah bisa mengakibatkan efek terbalik. Bisa jadi yang timbul malah kita mendapat kerugian besar.

Ada sebuah cerita, seorang ustadz lulusan luar negeri diminta ceramah di kampung. Sang ustadz diminta memberikan pencerahan agar masyarakat memahami kondisi bangsa yang kritis. Ia menyanggupi. Lalu dengan penuh semangat ia berdiri di podium.

"Bapak-bapak, ibu-ibu, sebuah negara ibarat sebuah mobil. Kita sebagai penumpang adalah masyarakat dalam negara itu. Jika mobil dirawat dengan baik, maka sebagai penumpang kita akan merasa nyaman di dalamnya. Mobil itu akan mengantarkan kita ke tujuan. Siapa yang bertanggung jawab menjaga mobil agar tetap nyaman? Tentu saja semua yang ada di dalamnya. Supir sangat bertanggung jawab akan kondisi mobil. Supir yang ugal-ugalan akan membuat mobil nabrak sana nabrak sini, cepat rusak dan reot, akibatnya banyak biaya harus dikeluarkan hanya untuk perbaikan, dan kita tidak segera sampai pada tujuan. Yang kedua adalah penumpang, yang harus menjaga kebersihan. Sampah dalam mobil akan mengganggu kenyamanan. Penumpang juga tidak boleh membuang sampah sembarangan ke luar mobil, karena akan mengotori lingkungan.

Nah bapak-bapak, ibu-ibu, negara kita sama seperti mobil, yang jadi supir presiden dan kabinetnya. Penumpangnya kita, masyarakat. Sekarang mobil kita jalannya terseok-seok, karena sopir yang dulu begitu ugal-ugalan, membuat mobil hampir mogok nggak bisa jalan, rusak sana sini, kita perlu biaya banyak buat perbaikan. Akibatnya buat beli bensin saja hampir tidak bisa. Apalagi buat jalan mulus dan cepat sampai tujuan.

Bahkan untuk membuat mobil berjalan, sopir kita yang dulu telah ngutang ke sana kemari, 1800 triliun rupiah ditinggalkan sebagai utang pada kita. Hingga saat ini tiap hari kita ditagih untuk menyiapkan 300 milyar rupiah. APBN kalang kabut menerima beban berat. Supir kita berjumpalitan dengan gaya akrobat triple R: roll over dan lainnya, dalam upaya menjalankan mobil."

Para audience, yang awalnya merasa mengerti serta merta mengeryitkan kening. Susah membayangkan apa artinya milyar dan triliun kemudian triple R, karena mereka sehari-hari hanya pegang recehan. Ini karena sang komunikator kurang memahami pendengarnya. Padahal inilah kunci untuk membuat orang mengerti apa yang kita maksud.

Komunikasi itu penting, informasi juga penting. Tapi faktor sang penyampai komunikasi dan informasi ternyata jauh lebih penting. Kita ternyata harus bisa memilih berbagai informasi yang tersedia. Orang dibedakan dengan informasi yang dipakai dan dimilikinya. Orang bodoh dan terbelakang adalah mereka yang tidak memiliki informasi atau banyak memiliki informasi tetapi informasi yang tidak banyak manfaatnya.

Hamelink, seorang pakar komunikasi mengindikasikan bahwa informasi yang sekarang bergerak di dunia cenderung hanya mengalir searah, dari negara "maju" ke negara berkembang dan "terbelakang". Ratusan ribu berita dan informasi khususnya tentang gaya hidup luar menyerbu negara kita, sebaliknya informasi-informasi tentang sumber daya alam dan kekayaan di negara kita di ambil satelit negara luar. Jaringan pengintai perangkat militer canggih negara "maju" meliputi hampir semua negara berkembang, termasuk negeri kita.

Kita menjadi penentu, mana informasi yang harus kita ambil dan jaga dan mana yang tidak perlu. Seorang tentara unggul adalah mereka yang mahir dalam menggunakan senjatanya dan tahu peluru mana yang harus dipakai. Peluru yang jika ditembakkan ke musuh, bisa menaklukkan satu, dua, puluhan bahkan ratusan dan ribuan orang. Peluru maut itu di jaman sekarang berbentuk informasi. Senjatanya adalah komunikasi dan segala perangkatnya.

Dua hal itu yang saat ini bisa kita dapatkan dengan mudah dan kita latih agar menjadi unggul. Mush’ab bin Umair telah memberi contoh bagaimana menaklukan hati kabilah di Madinah, tidak mesti dengan pedang dan senjata, tapi lewat pemilihan informasi dan kata yang tepat. Kita pun harusnya bisa.

Minggu, 17 Mei 2009

Televisi dan Perubahan Perilaku

Oleh: Septiandi*

Manusia sebagai mahluk sosial dalam kesehariannya tidak terlepas dari berbagai pengaruh, baik dari dalam diri, maupun dari luar. Kita berfikir, merasa, bersikap dan bertindak karena adanya rangsangan dari luar diri kita. Dengan triliunan sel otak yang kita miliki, otak membantu kita menentukan apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, apa yang kita pelajari dan apa yang kita lakukan. Singkat kata, perilaku kita ditentukan oleh otak.

Namun, apa yang terjadi ketika otak kita terbiasa menonton acara-acara televisi yang tidak mendidik? Disengaja atau tidak, televisi adalah media yang potensial, tidak saja untuk menyampaikan informasi tetapi juga membentuk perilaku seseorang, baik ke arah positif maupun negatif. Sebagai media audio visiual, TV mampu merebut 94 % saluran masuknya pesan-pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga.

Perilaku bukanlah karakteristik yang kekal sifatnya tetapi dapat berubah, diubah dan berkembang sebagai hasil dari interkasi individu dengan lingkungannya. Perubahan bisa bersifat positif dan negatif. Sifat perubahan yang terjadi ditentukan oleh diri individu yang bersangkutan dan lingkungannya. Proses perubahan perilaku bukanlah proses yang sekali jadi tetapi memerlukan waktu yang relatif sifatnya. Perilaku bukan pula bawaan atau turunan tetapi lebih merupakan produk belajar, yang mencakup kawasan-kawasan kognitif, afektif dan psikomotor.
Menurut teori klasik dalam komunikasi massa yaitu teori peluru (Bullet Theory) atau disebut juga teori jarum suntik.

Bahwa efek dari komunikasi media massa kepada masyarakat adalah seperti seseorang menembakkan peluru atau seperti dokter menyuntik pasiennya yang langsung kena. Agaknya teori tersebut tidaklah berlebihan, dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini yang semakin pasif dan tidak memiliki pilihan sangat dikendalikan oleh stimulus yang diikuti respon.

Seseorang yang terbiasa menonton adegan-adegan kekerasan cenderung menganggap bahwa adegan tersebut adalah hal yang lumrah. Ini berbahaya ketika tontonan tersebut di konsumsi oleh anak-anak yang belum siap secara psikologi. Anak akan meniru pola yang dilakukan bintang pujaannya dan yang di khawatirkan seorang anak belum bisa memilah dan memilih mana yang mesti di tonton. Jangan heran kalau anak-anak sekarang dipaksa untuk dewasa sebelum waktunya.

Bisa kita bayangkan betapa dahsyatnya pengaruh televisi terhadap perkembangan perilaku seseorang. Jangan heran, kalau akhir-akhir ini masyarakat kita banyak yang melakukan tidakan-tindakan diluar nalar. Tindakan yang tidak mencerminkan warga negara yang taat pada aturan. Karena apa, otak kita sehari-hari terbiasa disuguhi tontonan yang mengedepankan kekerasan, sex, kriminalitas, dll. Otak kita dicuci oleh kekuatan media elektronik seperi halnya televisi.

Dengan dalih mengejar rating, media televisi saat ini tidak lagi mempedulikan efek jangka panjang yang ditimbulkan dari penayangan program-program yang kurang mendidik. Perlahan namun pasti, itulah senjata yang digunakan oleh media untuk mempengaruhi khalayak.
Berdasarkan penelitian, telah banyak bukti atas pengaruh televisi pada perilaku manusia, mulai dari tindakan-tindakan fisik yang sederhana hingga sikap, pandangan dan nilai serta norma yang lebih mendalam.

* Penulis adalah Mahasiswa Teknik Industri angkatan 2004 Universitas Muhammadiyah Surakarta.