Senin, 18 Mei 2009

Komunikasi sebagai senjata, Informasi sebagai peluru dan Kita sebagai tentara

Sebuah iklan di majalah Time berlatar langit pada ketinggian 34 ribu feet, terpampang saat saya menempuh penerbangan Cathay Pacific Jakarta-Tokyo. Ia begitu mempesona. Bunyinya singkat, "You cannot get what you deserve, you get what you communicate." Seorang Doktor yang mengungkapkan kata-kata itu adalah pakar komunikasi yang sukses membina para profesional dan eksekutif terkenal di Amerika. Ia bukan Muslim, tapi saya sepakat dengan pendapatnya. Banyak contoh di sekitar kita, persoalan yang dihadapi dengan komunikasi berujung pada hasil positif, sebaliknya, tanpa komunikasi ia jadi kasus yang kian berat.

Saya teringat, suatu ketika sehabis bermain dengan dua anak perempuan saya di taman, sang kakak yang berumur 8 tahun setiba di rumah menulis di secarik kertas, dilipat-lipatnya kertas itu lalu disodorkan pada saya. Isinya sederhana, "Otousan, kyou wa isshouni asonde site kurete, arigatou nee." (Ayah… makasih ya mau main-main bersama di hari ini). Saya terharu. Pertama kalinya saya menyisihkan waktu yang sedikit, yang bagi mereka terasa berarti. Suatu ungkapan kecil namun bermakna begitu dalam.

Komunikasi penting bagi produktifitas. Seorang atasan yang sering berkomunikasi dengan sehat pada bawahannya akan menimbulkan efek positif. Bawahan merasa diperhatikan dan dilibatkan. Pekerjaan kantor pun akan dilakukan dalam suasana tenang, penuh semangat, rela berkorban, dan menyebabkan produktivitas meningkat.

Komunikasi juga tak terelakkan jika ingin orang lain mengenal dan memahami kita, termasuk memahami nilai-nilai yang kita bawa. Bukankah ada ungkapan Rasulullah saw, "Sampaikanlah dariku walau satu ayat." Kita tidak bisa mengharapkan orang lain mau mengenal Islam jika tidak mengkomunikasikannya, meski hanya satu ayat.

Misalnya dalam masa kampanye, semua sepakat komunikasi menjadi modal yang pertama. Selanjutnya, dalam kerangka yang lebih utama, yaitu da’wah, mengajak ke jalan Allah, mengajak pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Komunikasi menjadi "conditio sine qua nono", sesuatu yang harus dilakukan.

Masalahnya, dengan komunikasi saja ternyata persoalan belum selesai. Ada sesuatu yang diperlukan dalam komunikasi, yaitu bahan yang dikomunikasikan atau informasi. Pemilihan secara tepat informasi yang akan disampaikan menjadi penting karena informasi yang salah bisa mengakibatkan efek terbalik. Bisa jadi yang timbul malah kita mendapat kerugian besar.

Ada sebuah cerita, seorang ustadz lulusan luar negeri diminta ceramah di kampung. Sang ustadz diminta memberikan pencerahan agar masyarakat memahami kondisi bangsa yang kritis. Ia menyanggupi. Lalu dengan penuh semangat ia berdiri di podium.

"Bapak-bapak, ibu-ibu, sebuah negara ibarat sebuah mobil. Kita sebagai penumpang adalah masyarakat dalam negara itu. Jika mobil dirawat dengan baik, maka sebagai penumpang kita akan merasa nyaman di dalamnya. Mobil itu akan mengantarkan kita ke tujuan. Siapa yang bertanggung jawab menjaga mobil agar tetap nyaman? Tentu saja semua yang ada di dalamnya. Supir sangat bertanggung jawab akan kondisi mobil. Supir yang ugal-ugalan akan membuat mobil nabrak sana nabrak sini, cepat rusak dan reot, akibatnya banyak biaya harus dikeluarkan hanya untuk perbaikan, dan kita tidak segera sampai pada tujuan. Yang kedua adalah penumpang, yang harus menjaga kebersihan. Sampah dalam mobil akan mengganggu kenyamanan. Penumpang juga tidak boleh membuang sampah sembarangan ke luar mobil, karena akan mengotori lingkungan.

Nah bapak-bapak, ibu-ibu, negara kita sama seperti mobil, yang jadi supir presiden dan kabinetnya. Penumpangnya kita, masyarakat. Sekarang mobil kita jalannya terseok-seok, karena sopir yang dulu begitu ugal-ugalan, membuat mobil hampir mogok nggak bisa jalan, rusak sana sini, kita perlu biaya banyak buat perbaikan. Akibatnya buat beli bensin saja hampir tidak bisa. Apalagi buat jalan mulus dan cepat sampai tujuan.

Bahkan untuk membuat mobil berjalan, sopir kita yang dulu telah ngutang ke sana kemari, 1800 triliun rupiah ditinggalkan sebagai utang pada kita. Hingga saat ini tiap hari kita ditagih untuk menyiapkan 300 milyar rupiah. APBN kalang kabut menerima beban berat. Supir kita berjumpalitan dengan gaya akrobat triple R: roll over dan lainnya, dalam upaya menjalankan mobil."

Para audience, yang awalnya merasa mengerti serta merta mengeryitkan kening. Susah membayangkan apa artinya milyar dan triliun kemudian triple R, karena mereka sehari-hari hanya pegang recehan. Ini karena sang komunikator kurang memahami pendengarnya. Padahal inilah kunci untuk membuat orang mengerti apa yang kita maksud.

Komunikasi itu penting, informasi juga penting. Tapi faktor sang penyampai komunikasi dan informasi ternyata jauh lebih penting. Kita ternyata harus bisa memilih berbagai informasi yang tersedia. Orang dibedakan dengan informasi yang dipakai dan dimilikinya. Orang bodoh dan terbelakang adalah mereka yang tidak memiliki informasi atau banyak memiliki informasi tetapi informasi yang tidak banyak manfaatnya.

Hamelink, seorang pakar komunikasi mengindikasikan bahwa informasi yang sekarang bergerak di dunia cenderung hanya mengalir searah, dari negara "maju" ke negara berkembang dan "terbelakang". Ratusan ribu berita dan informasi khususnya tentang gaya hidup luar menyerbu negara kita, sebaliknya informasi-informasi tentang sumber daya alam dan kekayaan di negara kita di ambil satelit negara luar. Jaringan pengintai perangkat militer canggih negara "maju" meliputi hampir semua negara berkembang, termasuk negeri kita.

Kita menjadi penentu, mana informasi yang harus kita ambil dan jaga dan mana yang tidak perlu. Seorang tentara unggul adalah mereka yang mahir dalam menggunakan senjatanya dan tahu peluru mana yang harus dipakai. Peluru yang jika ditembakkan ke musuh, bisa menaklukkan satu, dua, puluhan bahkan ratusan dan ribuan orang. Peluru maut itu di jaman sekarang berbentuk informasi. Senjatanya adalah komunikasi dan segala perangkatnya.

Dua hal itu yang saat ini bisa kita dapatkan dengan mudah dan kita latih agar menjadi unggul. Mush’ab bin Umair telah memberi contoh bagaimana menaklukan hati kabilah di Madinah, tidak mesti dengan pedang dan senjata, tapi lewat pemilihan informasi dan kata yang tepat. Kita pun harusnya bisa.

0 komentar:

Posting Komentar